oleh Haryo Bagus Handoko
Rasa kekecewaan dan kebahagiaan hidup bersumber dari jenis-jenis nafsu yang bersarang dalam diri pribadi masing-masing. Untuk memperoleh kebahagiaan hakiki, manusia harus mampu mengendalikan hawa nafsu jeleknya. Manusia sering diliputi keresahan, karena keinginan tidak terpenuhi. Pelbagai keinginan muncul karena dorongan kuat aneka nafsu yang melingkupinya. Jika keinginan tidak terpenuhi, timbul rasa gelisah alias tidak tenteram. Ketenangan adalah kebutuhan hidup manusiawi yang didambakan semua insan. Ketenangan hakiki akan diperoleh seseorang jika ia mampu menaklukkan hawa nafsu dalam dirinya. Dalam bahasa Arab ketenangan adalah sakinah dan thuma’ninah, dengan makna yang agak berbeda. Dalam kitabnya, Madarijus Solihin, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengatakan :"Asal kata sakinah ialah thuma’ninah, yaitu tenang, tetap dan tentram yang Alloh turunkan keadaan semacam ini dalam hati hambaNya ketika merasa gelisah karena sangat takut...Maka ia menjadi tidak bingung, tidak bimbang dan tidak ragu setelah itu karena sesuatu yang datang kepadanya dan wajib baginya menambah imannya, keyakinannya dan ketetapan hatinya." Suasana tenang dapat disebabkan oleh faktor keadaan jiwa dan diri individu sendiri. Oleh karena itu tidak heran jika dalam upaya memenuhi salah satu kebutuhan hidupnya manusia memerlukan benda. Tidak heran juga kalau dikatakan harta benda merupakan salah satu sarana untuk memperoleh ketenangan.
Tapi harta tidak menjamin sepenuhnya memberi rasa tenang, sehingga sering orang punya banyak harta tapi hidupnya diliputi kegelisahan. Bahkan karena banyak harta, orang rusak jasmani dan karena berfoya-foya. Ketenangan sebenarnya bersifat kejiwaan. Dan harta hanya sarana memperoleh ketenangan itu. Dalam hubungan ini Dr. Hamzah Yakub mengatakan, diantara kenikmatan, ketenangan dan kebahagiaan, ada yang diperoleh karena sikap dan aktivitas batin yang telah menjadi watak dan pribadi seseorang. Misalnya syukur, ikhlas, ridha dan sebagainya. Ada pula yang diperoleh karena perjuangan dan kerja keras misalnya, sabar dan mujahadah melawan hawa nafsu. Serta ada pula yang diperoleh karena melaksanakan prinsip-prinsip akhlak yang diajarkan Rosul SAW dalam hubungan sesama manusia. Dan ada kenikmatan spritual yang diperoleh dalam beribadah seperti, menghayati puasa, khusyu' dalam sholat, dzikir, doa dan istighfar. Paparan di atas menunjukkan, ketenangan dapat diperoleh dengan bersikap dan aktivitas batin yang baik. Kebahagiaan yang sama dapat diraih pula oleh orang yang berhasil melawan ajakan nafsu yang buruk. Juga dapat dirasakan oleh orang yang baik akhlaknya dan ibadahnya. Orang yang berhasil dalam berjihad melawan nafsu dengan kendali ajaran Alloh dan RosulNya, akan hidup tenang dan membawa ketenangan pula kepada lingkungan sosialnya. Karena ia telah memiliki sikap mental yang baik dan suci, berakhlak baik dan mulia serta berhasil baik dalam melakukan dan menghayati tugas ibadah yang diwajibkan kepadanya. Sebaliknya, orang yang terus mengikuti hawa nafsunya akan banyak merasa gelisah. Terkadang menimbulkan bencana bagi dirinya dan orang lain. Orang yang bertakwa kepada Alloh akan tetap tenang dalam kebenarannya baik ketika senang maupun sedih. Sekalipun mengalami kegagalan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, ia tidak mengadakan reaksi agresif dan membabi buta, tetapi tetap memberikan reaksi positif, sabar menanti dan rela menerima cobaan dari Alloh dan tawakal kepadaNya. Suasana tenang pada diri Mukmin dinyatakan Alloh dalam surat Al Ro'du ayat 28-29 :
الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
الَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ طُوبَى لَهُمْ وَحُسْنُ مَآبٍ
"Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Alloh. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allohlah hati menjadi tentram dan tenang. Orang-orang yang beriman dan beramal sholeh bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik."
Dengan modal iman kepada Alloh dan selalu mengingatNya, dimana dan dalam keadaan manapun ia berada, orang akan dapat merasakan ketenangan hakiki. Di akhirat ia akan mendapatkan kebahagiaan dan tempat yang baik sebagai balasan dari Alloh atas iman dan amal sholehnya. Orang mukmin dan takwa yang tetap beramal shaleh dan tidak menuruti kehendak nafsunya, hingga di pintu matinya pun tetap tenang karena amal shaleh yang dikerjakan saat hidupnya membekali dan membuatnya siap menghadapi saat krisis itu. Karena nafsu mengajak kepada yang jahat, maka perlu ditundukkan. Menundukkannya dinilai sebagai jihad besar. Jihadun nafsi berarti mencurahkan segala usaha, kekuatan dan kemampuan yang penuh kesungguhan dalam memerangi musuh yang ada dalam diri, yaitu kecenderungan yang disebabkan oleh dorongan nafsu yang hendak menjerumuskan manusia. Menangkal godaan setan dan ajakan nafsu tercela sama-sama dipandang sebagai jihad besar. Tetapi jihadun nafsu bisa dipandang lebih besar dan lebih sulit. Selain syahwat jasmani seperti keinginan kepada makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan sebagainya yang menjadi obyek nafsu amarah, juga keinginan yang bersifat maknawiyah (psikis dan sosial) seperti perasaan ingin dipuji, mencintai kedudukan, pangkat dan status sosial lebih tinggi.
Nafsu amarah dapat membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dengan tujuan untuk menandingi lawan dan mencapai status sosial yang lebih tinggi. Jika seorang atau suatu bangsa yang maju ilmu dan teknologinya telah dikuasai oleh nafsu amarah, maka hasil kemajuannya itu akan dijadikan alat untuk kemaslahatan umat manusia. Dalam kitab Al Risalat Al Qusyairiyah, Al Qusyairi mengatakan, nafsu amarah adalah yang mendorong kepada kehancuran, membantu musuh manusia (setan) dan memiliki banyak keburukan.
Keinginan nafsu-nafsu dalam diri manusia, seperti diterangkan para ulama, mempunyai faedah. Misalnya dorongan nafsu seks berfaedah untuk melangsungkan keturunan manusia. Selain itu, menurut Ibnu Qudamah nafsu seks juga berfaedah agar manusia dapat merasakan sebagian kenikmatan akhirat. Supaya besar kerinduannya untuk menikmatinya kembali kelak di akhirat. Tetapi nafsu seks berupa rangsangan erotik juga menyebabkan terjadinya malapetaka besar jika tidak terkendali. Ia berfaedah ketika tersalur secara benar. Nafsu lawamah sebenarnya nafsu yang baik. Namun tingkatannya berada di bawah nafsu muthmainah. Nafsu ini sering terkalahkan oleh sifat loba, rakus dan sebagainya sehingga menjadi nafsu yang tercela pula. Dunia materi adalah obyek nafsu lawamah, karena harta benda dapat memenuhi kebutuhan jasmaniah manusia. Nafsu lawamah dapat mendorong orang mencari harta dan harta adalah sesuatu yang dapat membawa kemajuan. Karena orientasinya kepada harta, maka seseorang yang dikuasai oleh nafsu lawamah pandangan hidupnya bersifat materialistik dan mementingkan lahiriyah. Karena keserakahannya, ia tidak pernah puas. Kalau nafsu lawamah ada pada orang kaya, ia tidak mau bersyukur, tidak mau memberi sedekah dan sebagainya. Dan jika ada pada orang miskin, maka orang itu tidak punya kesabaran bahkan cemburu, iri hati dan sebagainya yang dapat menyebabkan ketegangan jiwa. Nafsu serakah juga dapat menyebabkan timbulnya rasa sangat mencintai harta (al hirshu) dan ketamakan. Dan karena sifat inilah maka orang bersifat materialistik dan egois.
Nafsu lawamah dinyatakan dalam surat al Qiyamah ayat 2,
وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
"Dan Aku Alloh bersumpah dengan nafsu lawamah."
Nafsu muthmainah adalah nafsu yang tenang dan setia, membimbing manusia hidup berbakti kepada Alloh. Jika nafsu ini berada pada orang kaya ia tidak akan tamak dan tidak rakus dengan kekayaannya. Tangannya selalu terulur memberi pertolongan kepada siapa saja. Orang yang bernafsu muthmainah hatinya lunak menerima ajaran Alloh dan ibadahnya bertambah-tambah. Bilamana mendapat ujian yang tidak menyenangkan, ia akan menerimanya dengan sabar dan tenang. Dia juga tidak mau hidup senang sendirian dan melupakan masyarakat sekelilingnya yang perlu ditolong. Amal sosialnya banyak, rendah hati dan sebagainya.
Nafsu yang bukan tercela adalah nafsu yang tunduk kepada kehendak Alloh. Bukan yang senantiasa mengikuti kehendak nafsu sendiri. Oleh karena itu, menurut Islam nafsu harus dikendalikan menurut cara yang wajar dan benar. Bukan dimatikan atau dilampiaskan sesuka hati. Firman Alloh, surat An Nazi'at ayat 40-41 :
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى
فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
"Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya”.
Wallohu a'lam bish-showab.
BACA SELENGKAPNYA....
PENGENDALIAN NAFSU
PESAN BUAT SAHABAT
Tentunya kita setuju bahwa manusia yang paling tinggi derajatnya dimata Alloh adalah bukan manusia yang paling pandai, bukan manusia yang paling kaya, dan bukan manusia yang paling pangkat, tetapi adalah manusia yang paling bertaqwa.
Akhir-akhir ini para pakar sains terus mempelajari isi kandungan alQur’an dengan sangat teliti dan mereka mengakui bahwa alQur’an memuat segala macam bentuk aspek kehidupan manusia. Dan kita juga tahu bahwa alQur’an sbg “Hudan linnas” (petunjuk bagi seluruh manusia sebagaimana disebutkan dalam surat alBaqoroh ayat 185), dan berbeda dengan misalnya kitab Taurat yang hanya khusus untuk bani Isroil seperti yang disebutkan dalam surat al Isroo’ ayat 2. Dan tampaknya mereka para sains juga ingin merobah system pendidikan mereka dengan mengacu pada alQur’an. Dan mereka menggali terus apa isi alQur’an untuk dipakai sebagai landasan penelitian ilmu pengetahuan mereka. Jadi mereka mengakui kebesarab alQur'an bukan karena ketaqwaan kepada Alloh atas petunjukNya melainkan karena isi kandungannya yang memang merupakan petunjuk bagi seluruh manusia dibumi ini.
Lantas bagaimana dengan kaum Muslimin sendiri yang sebagian besar tidak mau mempelajari kitabnya sendiri. Coba kita tanya kepada diri kita sendiri sebagai pemilik kitab suci tersebut, apakah kita sudah pernah membacanya sampai selesai 30 juz? apalagi mempelajari ayat demi ayat yang berjumlah kurang lebih 6.666 ayat itu? Atau mengamalkan seluruh perintah dan larangan dalam alQur'an tersebut. Makanya sayang sekali kita sebagai kaum Muslimin kalau tidak mau mempelajari Kitabnya sendiri, itu namanya “mahjuro”(menyepelehkan). Kita tidak bisa lepas dari sifat mahjuro ini, coba kita lihat, orang yang gak bisa baca alQur’an dan gak mau belajar itu mahjuro, orang yang bisa baca alQur’an tapi gak pernah baca juga mahjuro, orang yang sering baca alQur’an tapi gak pernah mempelajari isi kandungannya juga mahjuro, dan bahkan orang yang bisa baca dan tahu isi kandungan alQur’an tapi gak mengamalkan pun juga mahjuro. Sekarang mari kita kembali tanya pada diri kita sendiri berada dimanakah posisi kita terutama buat sahabatku yang sudah hampir mencapai 60th ini? usia-usia menjelang kematian. Bukankah Rosululloh sebagai suri tauladan kita itu berahlaq alQur’an?
Dan kita tahu bahwa sesungguhnya pendengaran penglihatan dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya. Kematian sebagai peringatan. Ayat-ayat dalam alQur`an yg menceritakan tentang kematian sudah terlalu banyak. Dan tidak ada seorang pun yg mengingkari akan terjadinya kematian ini. Namun mengapa kebanyakan mereka tidak menjadikan kematian sebagai peringatan agar bersiap-siap menuju kehidupan abadi dengan kebahagiaan di dalam surga. Sesungguhnya manusia yg paling bodoh adalah manusia yg tidak dapat menjadikan kematian sebagai peringatan.
Dikatakan dalam sebuah nasehat:
Barangsiapa yang menginginkan pelindung maka Alloh cukup baginya. Barangsiapa yang menginginkan teladan maka Rasululloh cukup baginya. Barangsiapa yang menginginkan pedoman hidup maka alQur`an cukup baginya. Barangsiapa yang menginginkan peringatan maka kematian cukup baginya. Dan barangsiapa tidak cukup dengan semua itu maka neraka cukup baginya.
Saat ini wahai kaum muslimin kita masih mempunyai peluang dan kesempatan maka sekarang juga kita harus memanfaatkan dgn sebaik-baiknya untuk taat kepada Robb kita. Waktu ini bagaikan pedang jika kita tidak menggunakan dengan baik maka ia akan menikam kita.
وَالْعَصْرِإِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍإِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Maaf pesan ini kami tujukan khususnya untuk diri kami sendiri dan sahabat kami kaum Muslimin pada umumnya.
Aqulu qouli hadza wa astaghfirulloha al’adzima li wa lakum.
(Arifie)
BACA SELENGKAPNYA....
JANGAN MEMAKAN RIBA
Pada masa sekarang rasanya riba sudah tidak menjadi perhatian lagi bagi masyarakat termasuk kaum Muslimin sendiri, beda antara yang riba dengan yang bukan semakin tipis. Sebagian besar masyarakat menganggap riba itu hanya pada harta hasil praktek usaha seorang rentenir saja yakni melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam, padahal sebetulnya banyak sekali macam praktek usaha yang berbau riba.
Secara garis besar, menurut para ulama, riba dikelompokkan menjadi dua. Yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah:
* Riba Qardh yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
* Riba Jahiliyyah yaitu hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
* Riba Fadhl yaitu pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
* Riba Nasi’ah yaitu penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Dikalangan sebagian besar masyarakat, memakan riba sudah tidak lagi menjadikan suatu rasa takut atau ragu karena dianggapnya sebagai hal biasa dan dianggap bukan suatu larangan syar'i, padahal ayatnya sudah jelas dalam al-Quran surat Ali Imron ayat 130-131, Alloh berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
وَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Alloh supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.”
Kalo kita perhatikan ayat Quran dlm surat ali Imron 130 inipun boleh jadi ada orang yang berpandangan bahwa riba yang tidak berlipat ganda itu diperbolehkan karena salah paham dengan ayat yang menyatakan ‘janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda’. Jangan pernah terpikir demikian karena hal itu sama sekali tidak benar. Ayat di atas cuma menceritakan praktek para rentenir pada masa jahiliah lalu yang Alloh cela mereka karena ulah tersebut.
Sedangkan setelah Alloh mengharamkan riba maka semua bentuk riba Alloh haramkan tanpa terkecuali, tidak ada beda antara riba dalam jumlah banyak ataupun dalam jumlah yang sedikit. Perhatikan sabda Rosululloh yang menegaskan hal ini,
دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ زَنْيَةً
“Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan mengetahui bahwa itu adalah uang riba dosanya lebih besar dari pada berzina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dari Abdulloh bin Hanzholah dan dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahih al Jami’, no. 3375)” [Nida-atur Rahman li Ahli Iman hal 41]
Dalam hadits di atas dengan tegas Nabi mengatakan bahwa uang riba itu haram meski sangat sedikit yang Nabi ilustrasikan dengan satu dirham. Bahkan meski sedikit, Nabi katakan lebih besar dosanya jika dibandingkan dengan berzina bahkan meski berulang kali. Jadi hadits tersebut menunjukkan bahwa uang riba atau bunga itu tidak ada bedanya baik sedikit apalagi banyak.
Demikian pula Alloh tegaskan dalam firmanNya pada surat al-Baqoroh ayat 278 dan 279 yang berbunya sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Alloh dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Alloh dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
Maka dengan demikian sudah jelaslah bahwa segala jenis bentuk riba, sedikit atau berlipat, adalah haram hukumnya. Dan marilah kita berhat-hati dalam menyikapi hal ini agar kita terhindar dari harta dan makanan yang berbau riba supaya menjadikan hidup kita berkah duridhoi Alloh swt serta menurunkan generasi yang sehat dan berakhlak mulia.
Wallohu a'lam bish-showab.
(Arifie)
BACA SELENGKAPNYA....


